Minggu, Mei 24, 2009

RANCANGAN MODEL PENENTUAN UPAH MINIMUM KABUPATEN/KOTA (UMK) PROPINSI JAWA TENGAH 2007 DI SAAT PRO DAN KONTRA REVISI UU No.13/2003

Seandainya tidak ingin peristiwa ketenagakerjaan terutama yang menyangkut unjuk rasa para buruh guna menolak besarnya Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) terulang kembali seperti tahun-tahun lalu, apa lagi di saat-saat pro dan kontra revisi UU/13/2003, maka ada baiknya sedini mungkin pemikiran perhitungan terhadap besarnya UMK tahun 2007 dirancang dengan model yang dapat dipakai sebagai pedoman oleh berbagai kalangan

Pengalaman tahun-tahun yang lalu, sejak usulan UMK dari Bupati/Walikota dan pasca penetapannya oleh Gubernur, unjuk rasa buruh (demo) selalu terjadi di berbagai daerah di Propinsi Jawa Tengah. Apalagi saat ini bersamaan dengan maraknya demo buruh di berbagai daerah guna menentang pemberlakuan ataupun menolak revisi UU No.13/2003 tentang ketenagakerjaan kian menjadi trend, bahkan terkesan telah menjadi opini publik, hingga akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan untuk mengabaikan draft revisi tersebut. Tulisan ini mencoba mengetengahkan pemikiran untuk diwacanakan, khususnya menyangkut rancangan model penghitungan UMK, karena, sejak diberlakukannya ketentuan upah minimum regional (UMR) hingga UMK sampai dengan saat ini, rancangan dalam bentuk manual program penghitungan UMK belum pernah ada, baik petunjuk teknis maupun pelaksanaannya yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Selanjutnya, penelitian maupun opini yang berkembang mengenai UMK yang pernah ada, hanya sebatas menghitung proyeksi besaran UMK, itupun sangat terbatas. Oleh karena itu perbedaan standar upah minimum yang dianggap layak bagi pekerja dan pengusaha selalu menimbulkan pertentangan (Kompas, 2 Maret 2006). Dari sisi pekerja : upah yang diterima diharapkan dapat untuk hidup layak dan sejahtera, minimal mampu memenuhi kebutuhan pokok atau kebutuhan hidup minimum/layak (KHM/KHL), sedang dari sisi pengusaha : dalam kondisi pertumbuhan industri yang cenderung menurun disebabkan dampak dari kebijakan pemerintah maupun situasi ekonomi yang kompetitif, pertimbangan biaya produksi sangatlah beralasan guna dijadikan acuan penolakan ataupun penangguhan pelaksanaan pembayaran UMK hingga batas-batas tertentu.

UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan kemungkinan revisinya, Permenaker No.1/1999 tentang UMR, Kepres 107/2004 tentang Dewan Pengupahan maupun Permenaker 17/2005 tentang Komponen Kebutuhan Hidup layak (KHL) diperlukan dan dapat saja dijadikan dasar hukum formal penentuan UMK. Tetapi, bagaimana cara menghitung agar didapatkan angka sesuai kemauan berbagai kalangan agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda antara kepentingan pengusaha dan pekerja ? Barangkali hal inilah yang belum ada dan tidak pernah tercipta kesepakatan diantara mereka. Apalagi selama ini Dewan/Komisi Pengupahan Daerah belum berfungsi secara optimal, karena kurangnya koordinasi antar anggota, hingga menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda. Penetapan UMK oleh Gubernur selalu mendapat respon negatif oleh kalangan pengusaha dan pekerja karena kurangnya keterbukaan latar belakang sebagai pertimbangan. Dengan kondisi seperti itu maka wajar bila besarnya angka UMK selalu menjadi komoditas opini yang selalu muncul pada saat-saat menjelang pengusulan dan pasca penetapannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar