Rabu, Maret 09, 2011

Dilema Sektor Pertanian

Sejak era revolusi tehnik dibidang pertanian, terutama pertanian tanaman pangan, sayur dan buah bersamaan dengan kebebasan aturan alih fungsi lahan pertanian menjadi industri, cepat atau lambat pasti akan terjadi permasalahan utama ketersediaan bahan pangan baik di daerah terutama yang padat penduduk maupun ditingkat nasional. Betapa tidak,luas lahan akan semakin berkurang, kepemilikan lahan pertanian oleh masing-masing keluarga petani akan menjadi sempit, produktivitas hasil pertanian akan menurun karena tidak efisiennya biaya produksi yang tidak sebanding dengan luas lahan tersebut.

Situasi tersebut masih akan bertambah runyam lagi apabila ketersediaan input-input pertanian (seperti bibit, pupuk, obat dll.) yang semakin terbatas dan mahal harganya, distribusi kurang merata ( karena pasar input pertanian cenderung bekerja secara monopoli),kadang juga disertai kelangkaan karena sesuatu yang diluar jangkauan petani, mau tidak mau pasti akan berdampak pada kinerja sektor pertanian dengan segala aspek ikutannya.

Input tetap lain seperti lahan pertanian, di Jawa, Bali dan Madura misalnya sukar untuk ditambah lagi luasnya, walau kenyataannya masih banyak lahan kosong yang tidak diusahakan lagi karena sudah pindah kepemilikannya, atau barangkali sengaja ditelantarkan karena keterbatasan sumberdaya lain yang kurang mendapatkan perhatian dari pemiliknya. Di luar Jawa sebenarnya masih terbuka peluang perluasan lahan selama didukung oleh kebijakan pro pertanian dan perpindahan penduduk yang tidak berdampak pada perselisihan antar suku ataupun daerah asal dan tujuan.

Masalah mendasar berikutnya adalah sumberdaya manusia pertanian yang dewasa ini semakin berkurang bahkan langka dipedesaan, karena terjadinya migrasi dari pertanian ke industri dan jasa yang semakin berkembang. Akibatnya, partisipasi para angkatan kerja muda yang produktif dari sisi umur dan pendidikan sangat rendah yang mau bekerja disektor pertanian, walau sebenarnya upah pekerja pertanian yang diterima relatif masih memadai dibanding upah pekerja industri di perkotaan. Keengganan mereka bekerja di pertanian terkesan karena kerasnya pekerjaan, kotor, panas dan kurang parlente dari sisi penampilan. Padahal, sebagai pekerja industri dan jasa perkotaan terkadang mendapat upah kurang dari standar hidup layak saja perlu perjuangan. Hanya saja, karena penampilan yang lebih parlente bekerja diperkotaan menjadi daya tarik tersendiri para pekerja migran tersebut. Maka,kebijakan pertanian perlu didesain agar sumberdaya produktif di pertanian pedesaan dapat ditahan untuk tidak terakumulasi di industri perkotaan.

Alih fungsi lahan barangkali perlu dipertimbangkan kembali, mengingat kebijakan ini cepat atau lambat dapat dipastikan berdampak negatif terhadap ketahanan pangan masyarakat. Keterbatasan kepemilikan lahan pertanian berakibat terbatasnya pula kesempatan kerja, walau direkayasa intensifikasi maupun diversifikasi sebagai pilihan, pada akhirnya lahan akan selalu menjadi persoalan mendasar, karena dalam jangka pendek tidak bisa dipaksakan tambahan luasnya. Fakta menunjukkan bahwa rumah tangga petani sebagian besar membeli beras, buah dan sayur, sebagian kecil saja yang tidak melakukan itu. Oleh karena itu, seandainya harga-harga komoditas pertanian tinggi, disatu pihak memang akan menguntungkan petani dengan luas garapan cukup, tetapi bagi petani lainnya yang relatif sempit bahkan buruh tani dan pekerja lainnya dan mereka yang tinggal di desa, atau mereka yang berada di pinggiran kota akan menanggung beban hidup selamanya, kalau demikian yang terjadi sepertinya ironis!!.(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar